Nov 30, 2016

Titi

Pertemuan...

 
Kami bertemu sekitar 12 tahun yang lalu. Ia datang ke tempat tinggal kami, mungkin sedang tersesat atau mungkin sedang mengejar sesuatu. Usianya sekitar 1-2 bulan, masih sangat kecil, seperti anak kecil yang baru bisa berjalan. Aku sangat menyukainya. Sikapnya yang manja, matanya yang bening dan bulunya yang bersih membuatnya disukai semua temanku yang tinggal serumah. Beberapa waktu kemudian, dari penjaga rumah, aku mengetahui namanya "Titi".

Titi bukan kucing liar, ia sangat terawat, aku tidak pernah tahu rumah pemiliknya, namun sejak kecil ia sudah disterilkan dan tidak mungkin memiliki keturunan lagi. Titi selalu datang ke rumah untuk bermain-main, malah terkadang ia lupa pulang dan menginap di rumah kami.Titi senang tidur di sela-sela kakiku (ini selalu menjadi posisi favoritnya). Titi lama-kelamaan tidak lagi pulang ke rumahnya, ia lebih suka di tinggal di kontrakan kami, menunggu kami pulang kerja. Sejak saat itu, aku selalu menyediakan makanan dan minumannya untuknya. 

2 tahun kemudian, kami terpaksa harus pindah ke Depok, sebenarnya aku berniat untuk tidak membawanya ikut serta, mengingat kondisi rumah kost di Pondok Ripi yang tidak diperbolehkan memiliki peliharaan dan ibu kostnya yang sangat benci dengan yang namanya kucing.  Berat rasanya meninggalkan Titi.

Suatu waktu kami harus kembali ke kontrakan, mengambil beberapa barang yang tertinggal. Selama di perjalanan, aku berharap tidak bertemu Titi sesampai di sana, benar sesampai di sana titi tidak ada, kami mengemas barang-barang yang akan di bawa ke Depok dan setelah selesai kami bersiap-siap memasuki mobil. Namun di kejauhan terlihat titi berlari mengampiriku. Dan aku pun berlari menjemputnya. Dari situ aku tahu, aku tidak bisa meninggalkannya.

Akhirnya, aku membawa Titi ke kost kami di Depok. Menghadapi segala resiko para pemilik kucing. Kucingnya dihilangkan. 




Kehidupan di kost-an.. 


Rumah kost kami merupakan kost-kost'an campuran laki dan perempuan, ada sekitar 30 kamar.  Satu kamar dihuni oleh rata-rata 2 orang, rumah kost yang sangat ramai dan akrab satu sama lain. Hampir semua anak-anak kost mengenal titi, bahkan kadang-kadang ada yang beberapa mahasiswi yang memelihara Titi (mungkin karena disangkanya kucing tanpa pemilik)Sehingga Titi tidak lagi tidur di kamar. Baru pulang lagi setelah akhir pekan, mungkin karena tuan barunya pulang ke rumah. Titi selalu menyukai orang yang memberikan perhatian yang lebih padanya. 

Rumah kost kami dekat dengan jalan Margonda Raya, sekitar 200 meter ke dalam, jika aku pergi dengan kendaraan umum, Titi selalu ikut mengantar ke depan, baru pergi setelah kami menaiki kendaraan.  Selalu seperti itu, seolah telah menjadi ritualnya. 

Kami tinggal di kost-kost'an lebih kurang 2 tahun.  Saat hari-hari terakhir di kost-kostan, sepulang dari kantor dikasih tahu oleh penjaga kost-kost bahwa titi paginya dikarungi pemilik kost dan dibuang entah kemana.  Dari informasinya, biasanya kucing-kucing dibuang ke terminal pasar minggu.  Aku dan temanku malamnya mencari ke pasar minggu. Hampir selama 2 minggu, setiap malam kami mencarinya. Untunglah, kemudian dapat informasi dari supirnya ibu kost, kalau titi dibuang ke stasiun Tanjung Barat bukan di pasar minggu. 

Akhirnya, sesampai di Stasiun Tanjung Barat, aku mendengar suara Titi yang sangat khas, dia berlari menghampiri kami. Betapa gembiranya aku saat itu. Kejadian ini menurutku cukup aneh, sebelumnya pernah juga si Titi dibuang ke daerah Halte UI dan kembali pulang sendiri, tapi kali ini dia tidak kemana-mana selama 2 minggu, tetap ditempat pertama kali dia dibuang, seolah menunggu dijemput.  Malam itu juga titi aku bawa ke kontrakan kami yang baru di daerah Cempaka Putih.


 (bersambung)
  




Sep 27, 2016

Pilgub DKI Jakarta 2017: Antara Agus, Anies dan Ahok


 I

langkah-langkah pembukaan...


Sungguh menarik menyaksikan kontenstasi demokrasi di Jakarta beberapa hari belakangan ini. Masing-masing partai politik besar yang berpusat di 3 (tiga) kutub yang berbeda menampilkan permainan politik elektoral tingkat tinggi yang cukup mengejutkan. Bahkan bagi saya yang berkecimpung cukup lama di dunia politik, sulit bagi saya untuk menduga langkah-langkah apa yang akan dimainkan oleh para patron jagad politik tanah air.

Langkah Pertama, diambil oleh Ibu Megawati (Ketum PDIP Perjuangan, Presiden RI ke-5), sebagai Partai terbesar yang memenangkan pemilihan legislatif (26,42%) dan pilpres (53%) di DKI Jakarta pada tahun 2014. Partai yang berpusat pada Ibu Megawati akhirnya menetapkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Calon Gubernur dan Kadernya Djarot sebagai calon wakil Gubernur. 

Langkah politik ini sedikit banyak sudah dapat diprediksi, terutama setelah penetapan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang dipersepsikan sebagai bagian dari barter politik; pencopotan PLT Ketua DPD PDIP DKI Jakarta; dan tentu saja  Faktor elektabilitas dari inkumben yang sangat tinggi dan tidak tersaingi oleh nama-nama yang muncul dalam berbagai survey.  

PDIP menunda cukup lama pencalonan Ahok, ada tarik ulur yang sangat kuat, ada persepsi yang dibangun seolah-olah PDIP sebagai parpol pendukung utama merasa ditinggalkan oleh 3 partai (Golkar, Hanura, & Nasdem) yang terlebih dahulu memberikan dukungannya.

Ditambahkan lagi dengan kekecewaan yang dirasakan oleh para pengurus partai di DKI Jakarta seperti terekam dalam sebuah video yang diunggah ke youtube, menimbulkan dugaan bahwa PDIP akan memunculkan calon dari kadernya sendiri, dan hal ini sangat memungkinkan, mengingat tingginya elektabilitas Ibu Risma dari berbagai survey yang ada.

Hal yang menarik dari pencalonan ini adalah permasalahan timing, PDIP menunda cukup lama untuk memunculkan calonnya. Hal ini bisa dipahami sebagai strategi untuk mengunci rapat langkah-langkah parpol lain dlm memunculkan figur baru karena terkendala waktu. Strategi ini bisa juga diambil, untuk menjaga kandidatnya dari berbagai kampanye negatif yang sangat mudah dilakukan lawan politik, mengingat posisinya sebagai inkumben, di mana segala masalah di Jakarta bisa diarahkan kepadanya.

Pada akhirnya nama itu dimunculkan juga, 3 hari sebelum batas waktu pendaftaran ke KPUD, jadi PDIP hanya memberikan waktu 3 hari bagi parpol lain untuk mengusung penantang dari inkumben yang secara elektabilitas, belum dapat ditandingi oleh figur-figur lain.  

Setelah pengumuman PDIP, parpol-parpol besar terlihat tidak cukup siap, dugaan bahwa PDIP akan mengusung kadernya sendiri menjadi buyar. Bahkan kader PDIP DKI Jakarta sendiri tidak menduga, mereka beranggapan Risma yang akan dimajukan.  Jika Risma yang dimajukan kemungkinan besar Parpol akan bergabung dalam koalisi besar tersebut. Jika kita mengamati sosial media pada malam deklarasi tersebut, optimisme besar terlihat dari tweet-tweet para pendukung inkumben, seolah pertandingan telah usai sebelum dimulai.

Langkah Kedua, SBY (Ketum PD, Presiden RI ke-6), mengumpulkan sebagian partai yang tergabung dalam koalisi kekeluargaan di kediamannya di Cikeas, ada 3 Ketua Umum Partai yang dikumpulkan yaitu: PKB, PAN dan PPP.  Kemampuannya mengumpulkan ketiga Partai ini, paling tidak memperlihatkan pengaruh kuat yang masih dimilikinya, mengingat kedekatan ketiga parpol tersebut dengan "Istana".  

Awalnya, saya menduga mereka akan membahas kandidat yang akan diajukan kepada 2 parpol dari koalisi kekeluargaan lainnya yang terlebih dahulu telah mengumumkan kandidatnya, yaitu Sandiaga Uno (Gerindra) dan Mardani (PKS), tentu saja setelah PDIP bergabung dalam gerbong besar, kubu PKS - Gerindra, perlu segera melakukan penyesuaian untuk dapat bersaing jika tidak mau kalah secara telak.

Apalagi berdasarkan hasil survey yang dilakukan poltracking pada bulan September 2016, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno diperkirakan akan dapat menyaingi Ahok - Djarot, dengan selisih perolehan suara yang sangat tipis, masih dalam kisaran margin of error (4,59%) yaitu 37,9 % dengan 36,4% untuk keunggulan inkumben. Perkiraan saya koalisi kekeluargaan akan mendorong pencalonan Anies Baswedan sebagai Gubernur dan Sandiaga sebagai Cawagub-nya. Apalagi Anies Baswedan pernah menjadi kandidat Presiden dari Partai Demokrat dan dapat merepresentasikan islam moderat yang akan dapat diterima tiga partai lainnya. Namun, ada ganjalan yakni permasalahan masa lalu antara Anies dan Prabowo diduga akan menyulitkan tercapainya kesepakatan ini.  

Secara pribadi, sosok Anies Baswedan adalah figur yang menarik bagi saya, saya pernah terlibat dalam gerakan turun tangan, dan menjadi supporter aktifnya selama masa konvensi. Anies menurut saya adalah figur yang visioner, articulate, charming dan mampu menginspirasi banyak orang.  Sosok yang menurut saya layak untuk dijadikan sebagai pemimpin di masa mendatang.

Sekitar pukul 23.00 WIB, saya mendapat kabar dari seorang teman yang berada di Cikeas, bahwa yang ditetapkan menjadi Cagub dan Wagub dari koalisi Cikeas adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni.  Mendapatkan berita ini saya sempat kaget dan mungkin juga seperti banyak orang, sedikit merasa kecewa. Bukan karena meragukan kemampuannya, tapi mempertimbangkan karir cemerlangnya di militer dan keharusannya untuk melepaskan kesempatan untuk menjadi jenderal yang cemerlang di masa mendatang. 

Tapi kemudian saya berpikir kembali, apakah karier militernya akan mulus-mulus saja? apakah sistem politik sekarang telah berlandaskan meritokrasi untuk menempatkan orang-orang terbaik pada posisi terbaik? Apakah yang menduduki posisi penting di pemerintahan saat ini adalah orang yang terbaik? Kita semua tentu akan mengatakan "Tidak", sistem yang ada masih sangat kental dengan Nepotisme. Dalam konteks ini, adakah harapan untuk untuk seorang Mayor Agus? Wallahu Allam.

Dari jauh-jauh hari, saya dan juga para kader dan simpatisan Partai Demokrat, telah melihat bahwa AHY, merupakan penerus dari kepemimpinan SBY, sosok yang akan dimunculkan pada waktunya. Sosok yang saya  percaya akan dapat membangkitkan kepercayaan rakyat kembali kepada Partai Demokrat. Harapan ini tentu bukanlah harapan yang kosong mengingat prestasinya di bidang kemiliteran dan tiga gelar Master yang diraihnya dari berbagai universitas terkemuka di dunia.

Pertanyaannya apakah sekarang waktu yang tepat? menurut saya: Iya, saat ini adalah waktu yang sangat tepat. Dunia politik membutuhkan generasi muda, generasi yang bersih dari berbagai dosa masa lalu, generasi merasa aneh dengan segala bentuk penyimpangan, generasi yang tidak mau berkompromi dengan status quo, generasi yang berada di luar jaring kekuasaan para mafia-mafia.  Politik membutuhkan pemimpin yang dapat berbicara dan memahami generasi-generasi baru yang tidak dipahami para politikus tua. Dunia politik membutuhkan pemimpin dari generasi yang tidak gagap bergaul dengan dunia luar dan menyatu dalam arus kemajuan zaman.

Selanjutnya, Langkah Ketiga, Prabowo Subianto (Calon Presiden 2014) dan Partai Keadilan Sejahtera, pada akhirnya memutuskan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai cagub dan cawagub DKI Jakarta. Keputusan ini merupakan langkah politik yang cukup mengejutkan, paling tidak bagi saya.  Mengingat Anies Baswedan memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan Prabowo sebagai akibat persaingan yang sengit pada pilpres 2014 yang lalu. Selain itu, Anies juga dianggap mewakili kelompok islam yang dianggap terlalu liberal dalam pemikiran sehingga akan sulit diterima oleh PKS. Boleh jadi langkah politik ini tidak diduga oleh koalisi Cikeas.  Langkah politik yang menurut saya sangat rasional. Untuk itu Partai Gerindra dan PKS layak diberikan apresiasi atas keputusan yang diambil, mengenyampingkan segala ego dan menyajikan kepada rakyat Jakarta pilihan yang baik.

--------------------------------------------------------------------------------

Langkah-langkah pembuka sudah dimainkan.  Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi.  Langkah-langkah cerdas selanjutnya akan dimainkan oleh para dedengkot politik di tanah air.  Dan yang perlu diingat dan tidak boleh dipandang remeh adalah peran dari sebuah kutub lain yg sampai saat ini,  masih secara samar menyatakan dukungannya. Dia yg memenangkan 2 pertandingan terakhir. Ini bisa jadi faktor penentu, mengingat besarnya kekuasaannya yg dimilikinya saat ini.

Dengan kualitas kandidat yang sangat bagus, kita berharap kita menjadi lebih mengenal figur-figur yang kita percaya akan menjadi pemimpin di masa yang akan datang...

(Tulisan ini berdasarkan pendapat pribadi dari pengamatan yang sangat terbatas)







Sep 13, 2016

Pilgub DKI 2017: Sebuah Pilihan Rasional

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta akan berlangsung kurang lebih 5 (lima) bulan lagi, tepatnya pada tanggal 15 Februari 2017 akan dilaksanakan pemungutan suara. Jauh berbeda dengan pemilihan sebelumnya, kampanye-kampanye bermuatan SARA begitu terasa mendominasi pemberitaan-pemberitaan.  Hal ini tidak lain karena majunya kembali Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai salah satu kandidat.

Posisi double minority yang ditempatinya dalam konteks sosial, telah mengakibatkan serangan politik berbasis SARA, menjadi tidak terelakkan lagi. Politik primordial dengan memproduksi sentimen-sentimen negatif terhadap lawan politik atas dasar SARA, dapat menimbulkan bias atau bahkan membutakan bagi sebagian orang, dalam melihat sosok yang akan dipilihnya.  

Pada sisi lain, serangan politik primordial tersebut dimanfaatkan untuk menguatkan soliditas para pendukungnya. Atas dasar politik primordial yang sama, mereka dapat memberikan dukungan tanpa syarat bagi sosok yang dianggap mewakili identitas mereka.  Hal ini tentu saja menimbulkan bias atau kebutaan yang serupa.

Politik primordialisme adalah sebuah masa lalu, sebuah lembar kelam sejarah yang seharusnya ditutup rapat. Seorang pemimpin publik haruslah dapat dinilai dan diuji secara objektif mengenai apa yang akan dilakukannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh kota Jakarta.

Kota Jakarta memiliki permasalahan yang sangat kompleks, misalnya permasalahan "kemacetan", saat ini kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 65 Triliun per tahun, berbagai upaya untuk mengurangi para komuter menggunakan kendaraan pribadi tampaknya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Waktu untuk melakukan perjalanan (ke tempat kerja) selalu meningkat. Para cagub harusnya dapat menjelaskan terobosan apa yang akan dilakukannya untuk mengatasi permasalahan tersebut. 

Permasalahan lain yang juga penting adalah permasalahan penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kalangan MBR yang sebagian besar bekerja di sektor informal sulit untuk memiliki rumah krn terbatasnya akses mereka pada sumber pembiayaan. Upaya pemerintah dalam menyediakan Rusun sewa atau milik masih sangat terbatas dan terkendala permalahan ketersediaan lahan. Seorang Cagub harusnya memiliki solusi untuk menjawab permasalahan ini.

Dan begitu banyak permasalahan lain yang membutuhkan solusi dari seorang pemimpin.  Dengan menawarkan berbagai solusi atas permasalahan yang terjadi, publik dapat menilai siapakah yang memiliki kemampuan untuk memimpin dan siapakah yang hanya bernafsu berkuasa tanpa memiliki visi yang jelas.  Dengan demikian, dalam memilih pemimpin, publik tidak dibiaskan atau dibutakan oleh politik-politik primordial yang dimainkan oleh sebagian orang yang tidak memiliki sesuatu gagasan baik untuk ditawarkan.

Aug 18, 2016

Ocehan hati

Seorang sahabat pernah mengatakan "apabila kita  lunak terhadap dunia makan dunia akan keras pada kita, sebaliknya apabila kita keras terhadap dunia maka dunia akan mudah bagi kita".

Mungkin benar apa yang dikatakannya, hidup memang seharusnya keras. Hukum ekonomi menjelaskan adanya kelangkaan sumber daya yang mewajibkan setiap orang untuk saling berebutan dalam memperoleh kebutuhan dan keinginannya.

Terkadang kita berusaha sekuat tenaga memacu diri untuk mengejar segala apa yang kita pikir baik dan laik bagi sebuah kehidupan yang kita bayangkan ideal.

Sayangnya apa yang ideal, seperti juga keinginan, bukanlah sesuatu hal statis yang dapat berhenti di suatu titik tertentu. Ia berkembang, berpindah-pindah, tanpa satu batasan. Sehingga masing-masing kita harus selalu bekerja lebih keras lagi untuk dapat memuaskan diri.

Bagi sebagian besar kita yang merupakan kaum pekerja. Bekerja lebih keras berarti mengorbankan waktu yang semakin terbatas. Bekerja lebih keras bisa juga berarti meningkatkan kemampuan diri dengan mempelajari berbagai pengetahuan dan ketrampilan baru. Di mana dalam kedua pengertian itu, waktu yang kita miliki harus kita pertukarkan untuk memenuhi sebagian dari keinginan kita.

Semakin sedikitnya waktu yang kita miliki sebagai seorang manusia menjadikan kita terasing dari lingkungan, bahkan terasing dari diri sendiri. Di mana hubungan dan kedekatan dengan keluarga dan orang terdekat semakin berkurang. Bahkan kita menjadi kurang memiliki waktu berbicara dengan diri sendiri.

Tentu saja selalu ada penolakan atas kondisi tersebut. Banyak alasan yang bisa kita jadikan sebagai pembenaran, misalnya tidak perlu kuantitas melainkan kualitas dari waktu  berinteraksi.

Tapi bukankan setiap hubungan yang baik memerlukan intensitas? Sebuah perasaan bahwa kita tidaklah sendiri dan terasing, melainkan ada seseorang yang selalu ada untuk menemani.

Bukankah kita perlu sejenak berdialog dengan diri sendiri tentang layak dan bernilaikah hidup yang kita jalani?

Agar kita dapat menemukan makna dari eksistensi keberadaan kita. Sebuah keberadaan yang absurd.